Sejarah Perkembangan Superkonduktor

Sejarah Perkembangan Superkonduktor

Superkonduktor pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan Belanda, Heike Kamerlingh Onnes, dari Universitas Leiden pada tahun 1911. Pada tanggal 10 Juli 1908, Onnes berhasil mencairkan helium dengan cara mendinginkan hingga 4 K atau -2690C. Kemudian pada tahun 1911, Onnes mulai mempelajari sifat-sifat listrik dari logam pada suhu yang sangat dingin. Pada waktu itu telah diketahui bahwa hambatan suatu logam akan turun ketika didinginkan di bawah suhu ruang, tetapi belum ada yang dapat mengetahui berapa batas bawah hambatan yang dicapai ketika temperatur logam mendekati 0 K atau nol mutlak. 

Beberapa ahli ilmuwan pada waktu itu seperti William Kelvin memperkirakan bahwa elektron yang mengalir dalam konduktor akan berhenti ketika suhu mencapai nol mutlak. Di lain pihak, ilmuwan yang lain termasuk Onnes memperkirakan bahwa hambatan akan menghilang pada keadaan tersebut. Untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi, Onnes kemudian mengalirkan arus pada kawat merkuri yang sangat murni dan kemudian mengukur hambatannya sambil menurunkan suhunya. Pada suhu 4,2 K, Onnes terkejut ketika mendapatkan bahwa hambatannya tiba-tiba menjadi hilang (Gambar 2). Arus mengalir melalui kawat merkuri terus-menerus. 

Dengan tidak adanya hambatan, maka arus dapat mengalir tanpa kehilangan energi. Percobaan Onnes dengan mengalirkan arus pada suatu kumparan superkonduktor dalam suatu rangkaian tertutup dan kemudian mencabut sumber arusnya lalu mengukur arusnya dan setelah satu tahun kemudian ternyata arus masih tetap mengalir. Fenomena ini kemudian oleh Onnes diberi nama superkonduktivitas. Atas penemuannya itu, Onnes dianugerahi Nobel Fisika pada tahun 1913. 

Penemuan lainnya yang berkaitan dengan superkonduktor terjadi pada tahun 1933. Walter Meissner dan Robert Ochsenfeld menemukan bahwa suatu superkonduktor akan menolak medan magnet. Sebagaimana diketahui, apabila suatu konduktor digerakkan dalam medan magnet, suatu arus induksi akan mengalir dalam konduktor tersebut. Prinsip inilah yang kemudian diterapkan dalam generator. Akan tetapi, dalam superkonduktor arus yang dihasilkan tepat berlawanan dengan medan tersebut sehingga medan tersebut tidak dapat menembus material superkonduktor tersebut. Hal ini akan menyebabkan magnet tersebut ditolak. Fenomena ini dikenal dengan istilah diamagnetisme dan efek ini kemudian dikenal dengan efek Meissner. 

Dengan berlalunya waktu, ditemukan juga superkonduktor-superkonduktor lainnya. Selain merkuri, ternyata beberapa unsur-unsur lainnya juga menunjukkan sifat superkonduktor dengan harga Tc yang berbeda. Sebagai contoh, karbon juga bersifat superkonduktor dengan Tc 15 K. Hal yang ironis adalah logam emas, tembaga, dan perak, yang merupakan logam konduktor terbaik bukanlah suatu superkonduktor.

Fenomena superkonduktor ini tidak bisa dijelaskan oleh teori pita keadaan (teori ini bisa menjelaskan fenomena konduktor, isolator dan semikonduktor), akan tetapi dapat dijelaskan oleh teori BCS. BCS singkatan dari Bardeen, Cooper, dan Schrieffer tiga orang pencetus teori tersebut pada tahun 1957 dan mendapat hadiah Nobel bidang fisika pada tahun 1972. 

Teori BCS menjelaskan bahwa elektron tunggal pada bahan superkoduktor (T<Tc) tidak dapat menghantarkan listrik melainkan harus berpasangan, yang dikenal dengan pasangan Cooper (Cooper pairs). Padahal dua elektron tersebut memiliki muatan yang sama maka hal ini bertentangan dengan hukum Coulomb yang mengatakan bahwa dua buah partikel dengan muatan yang sama akan saling tolak-menolak. 

Alasannya, karena pada saat sebuah elektron bertumbukan dengan sebuah atom positif, hal itu menghasilkan muatan positif dengan konsentrasi kecil pada elektron. Akhirnya elektron tersebut tertarik oleh elektron lain yang bermuatan negatif sehingga membentuk pasangan Cooper. Ketidakmurnian dan kecacatan kristal membantu aliran elektron pasangan Cooper sehingga tidak memiliki hambatan (tahanan listrik = nol). 

Teori signifikan lainnya adalah ketika Brian D Josephson pada tahun 1962 memprediksi bahwa arus listrik akan mengalir di antara dua bahan superkonduktor walau keduanya dipisahkan oleh bahan non superkonduktor atau isolator. Prediksinya kemudian terbukti dan Ia memenangkan penghargaan Nobel pada bidang Fisika tahun 1973. Fenomena pengkabelan ini kemudian dikenal sebagai effect Josephson dan telah diaplikasikan pada devices elektronik seperti SQUID sebagai alat yang dapat mendeteksi medan magnet lemah.

80’an merupakan dekade penemuan dalam medan superkonduktor Pada tahun 1964 Bill Little dari Universitas Stanford memberikan pendapat tentang kemungkinan adanya superkonduktor organic. Orang pertama yang berhasil mensintesa adalah Klaus Bechgaard dari Univeristas Copenhagen pada tahun 1980 dan tiga anggota tim Lembaga Penelitian Danish yang berasal dari Perancis. 

Pada tahun 1986 terjadi sebuah terobosan baru di bidang superkonduktivitas. Alex Müller and Georg Bednorz, peneliti di Laboratorium Riset IBM di R|schlikon, Switzerland, berhasil membuat suatu keramik yang terdiri dari unsur Lanthanum, Barium, Tembaga, dan Oksigen, yang bersifat superkonduktor pada suhu tertinggi pada waktu itu, 30 K. Penemuan ini menjadi spektakuler karena keramik selama ini dikenal sebagai isolator. Keramik tidak mengantarkan listrik sama sekali pada suhu ruang. Hal ini menyebabkan para peneliti pada waktu itu tidak memperhitungkan bahwa keramik dapat menjadi superkonduktor. Penemuan ini membuat keduanya diberi penghargaan hadiah Nobel setahun kemudian

Temuan tersebut memicu semangat para ilmuwan untuk menemukan bahan yang mampu memiliki sifat superkonduktor pada suhu yang lebih tinggi. Penemuan demi penemuan di bidang superkonduktor kini masih saja dilakukan oleh para peneliti di dunia. Penemuan lainnya yang juga fenomenal adalah berhasil disintesisnya suatu bahan organik yang bersifat superkonduktor, yaitu (TMTSF)2PF6. Titik kritis senyawa organik ini masih sangat rendah yaitu 1,2 K. 

Pada bulan Februari 1987, ditemukan suatu keramik yang bersifat superkonduktor pada suhu 90 K. Penemuan ini menjadi penting karena dengan demikian dapat digunakan nitrogen cair sebagai pendinginnya. Karena, suhunya cukup tinggi dibandingkan dengan material superkonduktor yang lain, maka material-material tersebut diberi nama superkonduktor suhu tinggi. Suhu tertinggi suatu bahan menjadi superkonduktor hingga saat ini adalah 138 K, yaitu untuk suatu bahan yang memiliki rumus Hg0.8Tl0.2Ba2Ca2Cu3O8.33. 

Kelompok peneliti dari Universitas Alabama dan Universitas Houston, Texas, Amerika Serikat di bawah pimpinan Prof. Wu kemudian menemukan superkonduktor baru yang memiliki temperatur kritis di atas titik didih nitrogen cair yakni 77 derajat Kelvin. Ini merupakan kemajuan besar karena harga nitrogen cair relatif lebih murah. Bahan superkonduktor tersebut merupakan campuran yitrium, barium, tembaga dan oksigen (Y-Ba-Cu-O) dan disingkat menjadi YBCO dengan temperatur kritis 92 derajat Kelvin

Meski begitu, boom aplikasi penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari belum kunjung tiba. Padahal, penerapannya sudah ditunggu tiga bidang industri yakni industri tenaga listrik, industri medan magnet tinggi, superkonduktor dan industri superconducting electronics.

AYO BERAMAL GABUNG FOLLOWER

Popular Posts